Wednesday, August 09, 2006

Pilih Ngeyel atau Masa Bodoh?

Bersentuhan dengan teknologi itu seperti mengawasi perkembangan anak. Sedikit kita mulai cuek, anak bisa berubah jauh dan mulai menjauhi. Sama dengan teknologi. Saat ini, seminggu saja kita tidak peduli bisa serasa ketinggalan puluhan tahun. Apalagi ketika kita menyentuh vendor yang sangat berhubungan dengan teknologi. Oke, informasi bisa mudah di dapat. Tapi ga salah dong, kalau kita langsung cek di lapangan. Sambil menyelam minum air. Beli barang, juga dapat pengetahuan tambahan. Sayangnya, alih-alih dapat informasi, kadang malah kita yang merasa harus berbagi informasi.

Suatu ketika, kakak saya ingin membeli sebuah kamera ponsel. Kebetulan libur semesteran membuat saya mungkin untuk menemaninya berbelanja. Kala itu teknologi kamera pada ponsel masih berupa fitur eksternal atau bentuk kamera clip-on. Kejadiannya di Semarang. Salah satu toko ponsel terkemuka di mal terbesar di ibukota Jawa Tengah. Pertanyaan kedua diajukannya. Setelah harga ia mulai menyentuh kemampuan dari kamera tersebut. Ini juga sebagai salah satu cara mengenal teknologi. Langsung dari tangan pertama distributor.

Pada kamera digital saat ini, kata paling berpengaruh adalah piksel. Dan itulah yang ditanyakan kakak saya dengan maksud mengetahui dampaknya pada kapasitas memori ponsel. Logikanya, semakin besar piksel, semakin besar kilobita atau megabita gambar. Semakin besar bita gambar, semakin sedikit kapasitas memori tersedia.

“Ini kameranya berapa mega piksel ya mbak?”

“Ini… berapa yah? Sebentar ya mbak. Saya tanya dulu”, sambil melengos mencari karyawan lain yang dianggap bisa. Seorang pria.

“oh itu masih kamera standar mbak”. Tidak menjawab pertanyaan.

Trus hasil foto yang diambil pikselnya gede ga? Nanti memori ponsel saya cepet habis ga?” Untung kakak saya masih cukup sabar.

“Ya enggak dong Mbak. Piksel kan warna. Jadi ga bakal ngaruh juga ke ponsel”.

Tidak menjawab pertanyaan. Dan penuh percaya diri.

Akhirnya kakak saya cuma bisa terbengong. Dan mulai berkata “Terima kasih ya Mbak”.

Saya yang dari tadi mendengar sekilas, gatal juga untuk menyela pembicaraan dan mulai menerangkan apa itu piksel.

Tapi mungkin butuh waktu dua hari untuk melakukan itu. Dan kakak saya menyadarinya, dengan menarik tangan saya untuk segera pergi.

Lalu pengerjaan tugas akhir membawa saya kembali ke Semarang. Kali ini saya berhadapan dengan pencetakan hasil kamera poket digital di counter Kodak terbesar di kota ini. Cerita kali ini mungkin hanya sebuah masalah pelayanan. Tapi saya kira masih relevan. Birokrasi biasa. Saya tiba di meja penerimaan film. Masukkan flashdisk, pilih gambar yang ingin dicetak, lalu bayar. Walau tidak senyaman dan semenarik Jonas, tapi mau bagaimana lagi. Lalu keresahan terjadi begitu saja.

“Kira-kira berapa lama mas? Kalau…”

“Sabar ya mas!”. Sedikit menekan dan memotong perkataan.

Karena suasana tugas akhir dan panasnya kota, saya mulai gerah.


”Mas, ini bukan masalah sabar atau ga sabar.
Saya cuma nanya. Jadinya berapa lama? Kalau lama saya tinggal, karena masih ada urusan. Kalau sebentar saya tunggu. Kok sabar?”

“…kira-kira satu jam mas”. Kali ini muka tertunduk.

“Ya sudah. Nanti saya kesini lagi. Terima kasih mas”.

Padahal saya hanya mencetak ukuran 4R, sekitar 5 lembar. Mesin tampak tidak bekerja, konsumen lain hanya satu.

Beberapa lama kemudian, Al-Arif teman saya, dipindah tugaskan di Semarang. Perusahaan ponsel besar dari Swedia mencari sarjana elektro ini sesuai dengan kemampuannya yang brilian. Memang brilian. Kadang saking briliannya, bercanda pun jadi sangat brilian. Sebentar, bukan itu intinya. Arif bercerita suatu hari mulai berurusan dengan karakter penjual Semarang yang sangat ber-pendidikan. Ceritanya Arif harus mengunjungi pusat komputer di salah satu plaza terbesar di tengah kota Lumpia. Objektifnya, mencari modem wi-fi. Wireless Fidelity. Singkatnya setelah ngobrol ke utara dan selatan, Arif menemukan barang yang dicari. Tapi untuk lebih meyakinkan, ia bertanya tentang fitur modem tersebut. Sang penjual tenang dan mantap menjelaskan.

“Ini, nanti yang ini dicolok kabel mas”.

“Lho, wireless kok pake kabel?”

Lha iya Mas. Ini nanti harus disambung ke komputer, pake kabel lagi”.

“Tapi ini wireless lho pak..”

Lha iyo mas..”

Tidak menjawab pertanyaan. Kelihatan ‘pintar’. Ngeyel pula.

Lalu kata terima kasih meluncur keluar dari mulut Arif yang jengkel. Detil ceritanya, silahkan mendengar dari Arif.

Tak hanya sekali saya berjumpa dengan situasi seperti ini. Masalah tren pun bisa mirip mengurus anak bagi sebagian korbannya. Lengah sedikit, label kolot mengikuti. Seperti di sebuah toko kaset. Kalau kita menyebutkan nama seniman musik yang bukan penganut arus utama, jawaban paling mudah dan cepat dilontarkan adalah “habis mas”. Setelah sebelumnya bertanya “apa tadi namanya mas?” dengan muka bingung dan malas. Tanpa ada keinginan untuk mencari dulu. Manual menelusuri tumpukan kaset ataupun secara digital di komputer. Yang penting merasa aman. Dan konsumen tidak bertanya-tanya lagi.

Baiklah. Sedikit prejudis sepertinya. Bisa jadi memang habis. Tapi pengalaman saya mencari kaset atau cakram kompak di Duta Suara jalan Sabang, Jakarta berkata lain.

Duta Suara adalah toko yang mengerti value dari toko dan value dari pelanggan. Toko musik lebih dari dua dekade ini, terkenal sebagai tempat bagi album rekaman paling tidak familiar di kuping sekalipun. Dan hebatnya, pegawai di sana hafal jelas harus mencari di rak mana. Mulai kaset jadul hingga paling kontemporer. Kalaupun yang kita cari habis, pegawai lapangan Duta Suara akan terlebih dulu melakukan cek ulang dengan pegawai yang berada di balik komputer. Sungguh sebuah servis!.

Namun kadang kita lupa. Pada satu titik persinggungan krusial ketika kita bersentuhan dengan konsumen sebagai penyedia jasa. Sebagus apapun posisioning yang dibombardirkan perusahaan anda dengan triliunan belanja iklan, semuanya bisa hilang ketika pelayanan menjadi krupuk kena air. Lalu saat kepercayaan pelanggan mulai terusik, saat itu juga anda harus mulai khawatir.

Ya, nila se-titik bisa merusak susu se-belanga.

Pelayanan adalah pasukan terdepan. Dari pelayanan yang maksimal, kepercayaan pelanggan dapat diraih. Tidak perlu menjadi genit dan berlebihan. Cukup dengan tersenyum, mencoba mengerti, dan memberikan solusi dari pertanyaan atau kebutuhan yang diajukan. Penguasaan pengetahuan akan produk yang kita tawarkan adalah penting.

Jangan pernah main-main dengan kepercayaan seseorang. Kalau tidak ingin kehilangannya.

Bisa jadi inilah bentuk komunikasi teror secara tak sadar. Kepercayaan konsumen ter-teror karena ke-ngeyel-an dan kekurangan ruang kepintaran pegawai. Dan ketika kita tidak nyaman, maka kita akan mencari kenyamanan lain. Kecuali memang, di tempat tersebut tidak terlalu banyak pilihan. Jadi mau tidak mau kita harus mulai memasang canthelan daripada kuping. Bersiap untuk sedikit menekan pengetahuan intelektual. Dan memberi kapasitas lebih luang dari dada kita.

Jadi, ngeyel atau masa bodoh?


Saturday, July 29, 2006

How to Command & Conquer The Islam World

Jika kalimat awal seperti “Banyak dari kita menganggap game adalah mainan anak kecil semata” sudah sering anda dengar, yah setidaknya itu hanya dikutip sebagai pembuka dalam tulisan ini.

Betul. Dunia permainan elektronik. Atau mungkin pada era 80-an populer dengan sebutan video game. Permainan elektronik yang dimulai dari munculnya komputer dan berkembangnya interface
grafis. Pong tentu masih dicatat sebagai sang pionir. Lalu segerombolan judul klasik seperti Pac Man, Tetris, Mario Bross si tukang ledeng pahlawan dunia jamur, hingga paling canggih Halo keluaran Microsoft untuk konsol X-Box 360.

Selain mengasah keterampilan dan kecepatan tangan, permainan genre role
playing dan strategi dipercaya mampu mengasah otak. Didukung perkembangan teknologi grafis 3 dimensi dan visual yang sangat pesat, permainan elektronik bahkan digunakan pada rumah sakit di Amerika untuk melatih calon dokter bedah melakukan operasi secara virtual. Bukan rahasia lagi, militer Amerika pun memanfaatkan teknologi permainan 3 dimensi sebagai alat simulasi tempur layaknya Counter Strike. Jika anda belum sempat tahu, terobosan teknologi informasi bernama internet dulunya adalah proyek rahasia Pentagon. Waktu itu idenya adalah bagaimana menghubungkan serdadu Amerika yang bertugas di lapangan dimanapun di dunia, dengan cepat, terintegrasi dan efektif dengan pusat komando di mainland.

Gim Sebagai Manifesto Budaya

Lalu apa hubungannya dengan judul di atas? Dalam dunia permainan elektronik, satu hal utama yang tidak bisa dilepaskan adalah komunikasi visual grafis. Sebuah dvd game tidak akan menarik untuk dimainkan saat ini jika tidak memiliki tampilan grafis keren. Mulai dari karakter, tempat, obyek, hingga kondisi pendukung seperti alur cerita, waktu, fiksi atau sejarah. Kesemuanya menjadi satu kemasan interaktif yang bisa membuat pecandu gim sakaw jika tidak memainkan barang satu jam. Dan dalam dunia komunikasi visual, perancangan sebuah permainan grafis bukanlah mainan. Seperti dalam komik yang dianggap –lagi-lagi- bacaan anak-anak, sesungguhnya kondisinya lebih rumit dari itu. Ada yang disebut studi karakter. Ketika kita merancang satu karakter untuk satu kondisi baik itu film, gim, atau komik, karakter tadi haruslah menjadi rasional. Se-fiksi apapun alur ceritanya, perancangan karakter harus memiliki sebuah dasar acuan. Sebuah referensi.

Cerita se-kaliber Tintin, tidak diciptakan Herge dengan cara berkeliling dunia. Pastilah Herge adalah orang kaya karena pernah menginjak bulan. Tentu saja tidak. Konon, ia menciptakannya hanya dengan membuka buku sejarah, buku geografi dan buku pengetahuan umum lainnya. Jika cerita mengenai abad pertengahan, pun imajinasi yang dipakai seliar mungkin, sang perancang harus mempelajari bagaimana kondisi riil abad tersebut. Apakah ponsel sudah diciptakan waktu itu? Apakah mekanisasi sudah mendapat pengaruh air uap saat itu? Tak jarang, memperhatikan sebuah komik, film atau gim, adalah seperti sebuah dokumenter yang dibumbui imajinasi. Otentisitas adalah mutlak menjadi pegangan bagi para perancang komunikasi visual. Salah satu yang menarik adalah Command & Conquer. Gim ini jebolan Electronic Arts. Pemain lama Amerika yang juga bertahan cukup lama dan sukses. Serinya sangat banyak. Tapi mari kita bertahan pada seri Generals.

C&C : Generals

Command & Conquer adalah permainan genre strategi. Secara garis besar, alur cerita yang dipakai adalah sebuah replikasi dari bagaimana manusia melakukan dominasinya untuk menjelajah, memerintah, dan menaklukkan. Baik itu di bumi maupun luar angkasa. Seri generals, adalah keluaran cukup terbaru yang banyak diminati. Seiring kondisi politik dunia yang semakin kacau, C&C : Generals seolah menjadi perpanjangan kenyataan dalam permainan elektronik. Ide yang menarik. Karena titik beratnya adalah kita menjadi seorang Jenderal yang harus membangun pasukannya untuk membuat musuh takluk dan menang. Dan banyak teori konspirasi yang seolah didukung fakta sejarah, bahwa dunia ini sekarang menjadi mainan para jenderal dengan bekingan industri militer.

C&C : Generals menawarkan skenario itu dengan tiga pilihan identitas kepada kita. Jelas, pemain utama adalah United States. Kemudian China, lalu Global Liberation Army. Oke, kita sudah tahu dua sebelumnya. Tapi, Global Liberation… apa? GLA adalah salah satu pemain dalam C&C : Generals. Dalam permainan ini diposisikan secara visual sebagai para pejuang berjenggot, bersurban, bersenjata Kalashnikov, gedung2 dengan kubah bulat terbuat dari pasir, dan lengkap dengan simbol pedang dan bulan sabit. Tentu persepsi awal kita akan berkata, tiga kekuatan dunia sedang bermain. Amerika, China, dan Dunia “Islam”. Walaupun tidak secara eksplisit berkata bahwa ini adalah dunia “Islam”. Arab bukan hanya Islam. Namun jika anda terlibat dalam permainan ini, dan sempat memainkan dari sisi GLA, sungguh sangat menarik bagaimana penetrasi posisioning pun dapat diciptakan melalui sebuah permainan elektronik.

The Good Guys vs The Bad Guys

Tampilan pembukanya sangat dramatis. Mulut para politisi saling berteriak, dengan narasi “Di saat politisi tidak berkutik, para Jenderal mengambil alih”. Lalu adegan sekumpulan tank Crusader, Hummer dan heli Apache, terjebak dalam sebuah plasa terbuka di tengah kota padang gurun. Lalu berturut-turut kendaraan tempur, rocket buggy dan truk bunuh diri bermunculan. Pertarungan yang sengit. Siapa yang kalah? Tidak ada, karena intro ini selalu berulang tanpa kata akhir. Tapi jelas, korban pihak mereka hanya satu Apache. Sementara GLA rontok dengan mudahnya. Referensi teknologi cukup menjadi alasan utama bagi US untuk bisa mendominasi dengan Jenderalnya. China menempati tempat kedua, lengkap dengan fitur menghasilkan prajurit hacker dan pembajak, serta kantor propaganda. Sungguh asyik!. Lalu ketika anda memainkan GLA, yang muncul mungkin sebuah penghakiman, pelecehan, bisa juga anda hanya tertawa. Ya, kondisi GLA jauh beda dengan dua lainnya. US dan China menggunakan traktor dan construction dozer sebagai builder. Sementara GLA menggunakan tenaga manusia. Yang menarik adalah komentar dari para worker, serdadu atapun unit ketika kita melakukan opsi seleksi pada mereka.

“I’m Just A Peasant”

“Ow, Okay. Okay”

“I will Work”

“That is A Lot of Work”

“This is Hard Work”

“Can I Have Some Shoe?”

“You Change Your Mind Often”

“I Do What I Told”

Itu adalah komentar dari para worker GLA. Lain lagi ketika kita melakukan seleksi pada Quad Cannon GLA. Ini sejenis truk bak terbuka kuno yang di belakangnya dipasang senapan mesin.

“Yes, Yes”

“Don’t Get On My Butt Side”

“Don’t Push Me!”

Atau simak bagaimana seorang suicide bomber (ya, ada pilihan serdadu bom bunuh diri di sini. Juga gerombolan orang sipil yang dipersenjatai Kalashnikov.) berteriak kegirangan mengangkat-angkat tangan ketika diperintah untuk menyerang sebuah unit musuh. Mungkin menjadi sedikit menyentuh ketika satu unit GLA kita gugur, maka akan terdengar suara penuh kegagahan, “A Warrior Has Fallen”. Beda dengan komentar US yang hanya berbunyi “Unit Lost”. Lalu dengarkan bagaimana builder US yang berkata lantang,

What Do You Got?”

Sure

atau buldozer China dengan aksen china yang berkata,

China Will Grow Larger

I Build For China”, dan

That is A Good Plan General”.

Secara komunikasi verbal, pelecehan dan posisioning akan kebodohan, keterbelakangan dan represi dari seorang jenderal terhadap rakyat jelata (peasant) yang selalu mengeluh dan seolah memberontak, membuat persepsi kita terbentuk inilah dunia GLA (“Islam”). Semiotikanya pun berkata jelas. Bagaimana teknologi GLA (“Islam”) sangat mundur paling belakang. Bahkan listrik pun mereka tak punya. Oke, bagi anda yang pernah memainkannya mungkin akan berkata “Tapi GLA punya senjata paling ampuh, SCUD Launcher”. Benar. GLA memiliki senjata pamungkas. Begitu juga US dan China. SCUD Launcher bisa dimiliki GLA seharga 5000 saja. Namun ini adalah senjata pemusnah massal yang seharusnya dicari administrasi Bush. SCUD Launcher adalah rudal balistik SCUD yang berjumlah sekitar 10 rudal, dan di dalamnya terdapat senjata kimia. Efeknya jika ditembakkan? Memang divisualisasikan dahsyat. Sementara China hanya memiliki satu rudal balistik Nuklir sebagai pamungkas. Dan US memiliki Particle Cannon yang menembakkan kumpulan energi laser penghancur. Komunikasinya jelas beda. Pemusnah massal, berbanding senjata presisi yang terukur hanya untuk menghancurkan instalasi militer (tapi bisa anda tembakkan kemana saja).

Sebuah Strategi Posisioning

Penyusupan posisioning menggunakan media diluar bauran pemasaran konvensional ini, mungkin tidak akan kita sadari penuh. Selain sebagai sebuah bentuk permainan elektronik, gim seperti ini seolah menjadi produk penjajahan pikiran dan budaya. Di tengah hiruk pikuk perang antara mereka yang dilabeli Teror dengan para Crusader melalui Kampanye Perang Lawan Teror, perang informasi dan pencitraan adalah krusial. Justru teror pikiran dan visual yang ditanamkan kepada dunia Islam. Membuat kita berpikir bahwa para Imam yang meneriakkan sebuah perlawanan terhadap ketidakadilan adalah pembuat teror. Dan efek pencitraan serta penetrasi posisioning apalagi yang paling hebat ke generasi muda, selain film, musik, komik ataupun game?.

Keterbodohan dan ketertinggalan penguasaan teknologi tidak selamanya menjadi kebenaran. Karena penguasaan teknologi pada dasarnya jika tidak digunakan secara arif, maka kehancuran yang mengancam. Bagaimana persepsi dan pikiran kita digiring untuk selalu menjadi terbelakang dan bodoh, adalah faktor penting kenapa manusia bisa terbelakang dan bodoh. Selama kita tidak bisa mendorong diri untuk keluar dari penjajahan pikiran seperti itu, yang bisa kita lakukan hanyalah duduk diam. Nyalakan PC atau Mac anda. Masukkan dvd C&C : Generals. Pilih GLA atau China asal bukan US. Gerakkan jari anda pada tetikus dan gunakan kemampuan atur strategi anda. Lalu luncurkan banyak SCUD pada pusat komando US dengan geram.

Ya, setidaknya sekarang hanya itu yang bisa anda lakukan. Ironis memang.



Terror Marketing

Posisioning paling cepat menyebar saat ini adalah hanya berupa satu kata.

Teror.

Teror juga terorisme sebagai bentuk kata kerja.

Pendekatan global yang dimulai dari (atau dipasarkan untuk seolah dimulai dari) para pejuang berdasar agama. Banyak pula berkata akar sebenarnya adalah ketidakseimbangan. Jurang tajam antara perlakuan negara maju terhadap negara berkembang. Yang mana yang berkata benar? Disinilah pentingnya pemasaran modern terhadap perang informasi. Pentingnya pembentukan persepsi pada benak dan imaji tiap individu yang unik menjadi sama rata. Sebenarnya kampanye teror adalah produk lama. Sama halnya ketika Unilever ingin menjual pepsodent-nya di Nusantara. Yang perlu dikomunikasikan, dulu hingga sekarang, adalah menciptakan satu ‘teror’. Penciptaan sebuah karakter yang bisa dipersepsi sebagai musuh bersama, yaitu plak dan karang gigi. Suatu pendekatan komunikasi ber-basis keuntungan kesehatan (
health benefit). Karakterisasi musuh bersama ini menjadi senjata ampuh yang bisa dipakai, karena sikap solidaritas manusia sebagai mahluk sosial. Terutama pula budaya Indonesia yang konon selalu menjunjung kebersamaan.

Namun ternyata dikotomi Barat dan Timur tidak selamanya membuat aman pikiran kita. Barat pun kini juga dilanda demam kebersamaan. Bersama untuk dibuat takut. Dan bersama untuk dipersepsikan sebagai manusia unggul yang memperoleh kebebasan (freedom) dan harus berjuang memberantas siapapun yang berusaha mengambil kebebasan itu dengan kuasa ketakutan. Terpatri jelas dalam marmer megah di Arlington dan Washington, Fredoom Is Not Free. Kira-kira jiwa inilah yang terpaku juga di kalangan pemasar kontemporer, bahwa berjuang untuk membebaskan pikiran konsumen dari produk kompetitor, dan juga menjaganya, adalah tidak murah. Triliun rupiah dikucurkan sebagai belanja iklan. Promosi lini bawah terus digenjot, dan kadang perlu berjibaku untuk mendapatkan perhatian konsumen yang tidak loyalis.

Teror di Sekitar Kita
Kampanye liberasi terhadap mereka yang meng-oposisi kebebasan dipenetrasikan dengan gamblang dan kontinyu. Teror sesungguhnya tidak hanya melalui bom bunuh diri. Teror ada di mana-mana. Tengoklah sekeliling. Tak luput secara visual kita mengalami teror busana, teror belahan dada, teror sinetron punjabi, teror orasi Bu Mega, teror musik dan sebutkan teror lainnya. Apa yang baik diolah menjadi buruk. Dan perilaku buruk seolah ter-benarkan. Sangat bergantung dari sisi mana kita melihat dan akan berpihak. Inilah kampanye paling masif yang di alami masyarakat urban dengan konsumsinya. Consumption ergo sum. Dan karena fesyen, gaya hidup, maka identitas pembeda kita ada.

Kampanye Timur Tengah
Lalu apa yang kita lihat saat ini di Timur Tengah? Perjuangan memenangkan sebuah pertarungan sesungguhnya bukan berdasar pada pergerakan Merkava dan Fighter Type-16. Bukan. Barang besi itu hanyalah alat, sebagai sebuah komunikasi lini bawah. Dimana mereka melakukan suatu demonstrasi produk berupa unjuk kekuatan fitur-fitur penyangga unggul dari Demokrasi Barat. Komunikasi sesungguhnya adalah penetrasi media barat dan pernyataan berulang Dan Gillerman bahwa ini adalah bagian dari Kampanye Perang Melawan Teror. Condi pun berkeliling bola bumi. Meyakinkan semua orang bahwa para moderat adalah idola yang harus dikirimi sms dukungan. Dan para pemilik label ekstremis adalah mereka yang harus disemprot diklorvos jika Perdamaian Yang Berkelanjutan ingin dicapai. Musuh bersama jelas telah tercipta. Belum dihitung dengan penetrasi posisioning bahwa bikini adalah lumrah, pakaian tertutup itu kebodohan dan pengekangan, prostitusi wajar asal legal, ekonomi tentu kuat jika tenaga kerja murah dijual pada negara maju (dengan dalih penanaman modal).

Penghancuran Gedung Sentra Perdagangan Dunia diposisikan sebagai pemicu efek domino akan perlunya sistematis penghancuran teror. Ketika kita berpikir sebagai seorang praktisi pemasaran, tentu suatu kebodohan jika kita tidak melakukan perencanaan komunikasi sebelumnya. Bahkan sangat jauh sebelumnya, bisa tahunan, kita sudah mulai mengumpulkan data, mengolahnya dan menerapkannya sebagai strategi penguasaan pasar. Bukan tidak mungkin strategi Kampanye Perang Lawan Teror ini pun telah direncanakan sebelumnya. Pengembalian para serdadu yang terculik hanyalah sebuah teaser. Gimmick yang perlu diujicoba dan dilempar untuk menyenangkan sekaligus mengetahui reaksi pasar. Lalu kapan kedamaian dicapai? Hanya Tuhan semesta alam yang tahu.

Bin Laden, Marketer Of The Century

Tak berlebihan jika gelar Pemasar Abad ini perlu kita sanjungkan kepada Usamah, anak lelaki dari Ladin. Usamah yang konon adalah mitra strategis Bush, kini dihukum sebagai anak nakal yang tidak menjalankan kebijakan demi kepentingan perusahaan yang sama. Usamah layaknya Wings yang dulu mencicipi indahnya produk Unilever, kemudian kini mencoba untuk menyainginya. Komunikasi Perlawanan dan Perjuangan sebagai sebuah gaya hidup kini diminati mereka yang merasa penindasan dan ketidakadilan harus diakhiri. Perlawanan Smile Up terhadap Pepsodent menciptakan sebuah ‘teror’ baru. Teror gaya hidup yang mengusung fungsi sosial dari sebuah produk. Bahwa bau mulut dan ke-tidak segaran mulut adalah musuh bersama kaum urban yang merasakan banyak represi dari kalangan tua. Kita tidak tahu mulut siapa yang bau, Tapi itulah kata kunci yang diterapkan Smile Up yang mengikuti gaya Close Up karena sama-sama dipasarkan kepada generasi muda. Perlawanan dan Perjuangan juga menjadi kata kunci yang dipasarkan Usamah kepada kaum muda yang masih bergairah dan militan. Represi dari mereka yang berkuasa dan ber-adi kuasa harus ditentang demi sebuah keseimbangan. Hebatnya, Usamah tidak perlu mengeluarkan biaya triliunan untuk kampanye produknya.

Hanya dengan modal kamera genggam, Kalashnikov tua dan orasi yang menggugah lewat internet, kini produknya digemari sekaligus dibenci di mana-mana. Dan disinilah keberhasilan sebuah kampanye komunikasi diukur. Ketika resistensi bermunculan, berarti komunikasi kita didengar. “Yah, cinta dan benci kan beti. Beda-beda tipis. Sama-sama dipikirin bow!”. Teriak penjaja syahwat tersegmentasi di Taman Lawang. Justru media barat lah yang dengan gencarnya memasarkan ‘teror’ ala Usamah dengan sukarela. Persepsi kita dibentuk, dan posisioning itu dimasukkan kepada konsumen global. Bahkan Usamah kini seolah menghasilkan ‘flagship’ yang di’usung’ oleh Hamas dan Hizbullah. Dibawah satu ‘umbrella’, teror. Walaupun Hamas dan Hizbullah memiliki legitimasi politis sesuai demokrasi ala Amerika, tapi mereka yang tidak segaris dengan kebijakan perusahaan harus dieliminasi. Lalu bukankah fantastis. Terima kasih kepada kampanye kompetitor, kini seolah produk Usamah memiliki dasar, premis, promise, dan benefit yang kuat untuk memenangkan posisioning di benak logika kita. Atau setidaknya simpati kita akan siapa yang benar dan siapa yang salah mulai terusik. Tapi waspada juga harus dimiliki. Karena bisa jadi mereka ingin kita untuk berpikir seperti itu.

Tiap Karakter adalah Unik dan Beda
Tentu menggerakkan massa untuk memerangi musuh bersama adalah mudah. Demi menghadapi tuntutan oposisi dan korupsi dalam negeri, Soekarno menciptakan Ganyang Malaysia. Demi menguatkan dukungan militer kepada posisi lemah Olmert yang sipil, maka IDF diberi mainan baru di tanah Lebanon. Namun bisa jadi teror yang dilabelkan kepada mereka yang memiliki pandangan yang tidak sama, justru malah akan semakin menguatkan keberadaan mereka. Pentingnya kita menyadari bahwa tiap karakter adalah beda, mulai dari terkecil individu hingga negara bangsa, adalah cara terbaik untuk memenangkan kompetisi.

Bahwa dari informasi tumbuh pengetahuan.

Dari pengetahuan terwujud pemahaman dan pengertian.

Pemasaran Teror adalah fenomena unik dari abad informasi. Efektifitas dan kemampuan penetrasinya masih dibuktikan dengan uji lapangan yang terus terjadi hingga kini. Kelemahan yang harus dihindari dari Pemasaran Teror adalah bagaimana kita menemukan cara untuk menghentikan siklus aksi dan reaksi. Pemahaman baru yang muncul bagi dunia saat ini adalah untuk mulai mengerti kebutuhan penduduk bumi. Dan bagi praktek komunikasi, mengerti calon konsumen kita serta keinginan untuk mendengar adalah penekanan. Terutama jika kita bisa berbicara bahasa mereka.


Karena teror sesungguhnya adalah ketika kita memaksakan apa yang kita anggap benar, kepada mereka yang tidak bisa menerimanya.

Homo Homini Lupus.

Man, is a wolf to a man
.

Konstruksi Keajaiban Unilever, Kebersamaan Merangkul Kebebasan Individu.

Mengamati cara bicara dan bahasa rupa dari sebuah iklan di Indonesia kadang menarik, kadang membosankan. Bahasa rupa dan tanda yang dipakai, cenderung hanya berdasar pada keinginan pasar tanpa ada terobosan berbicara yang layak dipandang sebagai pendewasaan masyarakat transisi oral-verbal menuju visual. Jelas iklan Indonesia tak bisa disamakan dengan iklan Amerika atau iklan barat. Kita beda. Komunitas kita memiliki karakteristik yang tak sama dengan mereka. Para londo itu menggilai seks, humor, menjunjung individualisme, liberalisme, hedonisme, dan konsumerisme. Para bumiputra menyenangi nongkrong, mangan ora mangan ngumpul, ketawa bersama, mistis, pergunjingan, dan kekeluargaan yang terdisorsi. Akhirnya kepada siapa kita berbicara? Tentu saja, masyarakat urban kosmopolitan Indonesia tak bisa lepas dari pengaruh kebiasaan londo yang mereka gampang cerna, ketahui dan amini.

Komunitas urban adalah komunitas yang lebih terbuka, dan kadang bahkan tak sadar kenapa ia memilih sebagai orang yang terbuka. Kelompok komunal yang meleburkan gila seks, humor, individual, hedonis, konsumeris, tapi sekaligus nongkrong, penyuka mistis, bergunjing bersama, dan merasa memiliki rasa kekeluargaan yang terdistorsi. Bagaimana berbicara dengan kelompok seperti ini? Unilever cukup jeli dan bisa menjadi menarik dalam menebak kondisi masyarakat banci ini. Setidaknya bisa kita lihat dalam kampanye iklan Lifebuoy, dan Rinso paling mutakhir. Lifebuoy dan Rinso bermain dalam tataran kebersamaan namun akhirnya juga menghargai kebebasan dan keterbukaan seorang individu. Lifebuoy, khususnya dalam kampanye anti jerawatnya berkata, “..anak muda terserah ingin melakukan apa saja. Tunjukkan keberanianmu, kebiasaanmu, kebisaanmu, siapa engkau dalam komunitasmu. Jika selama beraktifitas kemudian timbul jerawat, usah kau khawatir, serahkan urusan itu pada Lifebuoy..”. Ini bisa dilihat pada kampanye Jawara tak takut jerawat sabun Lifebuoy.

Sementara Rinso dengan jinglenya yang sangat catchy dan mungkin akan stuck in your head, menampilkan kampanye Berani Kotor itu Baik. Dalam tampilan visualnya, iklan itu mengajarkan kita untuk bisa melihat dari sisi lain. Seorang anak yang ikut bermain kotor-kotoran, seorang pria yang ikut mendorong mobil mogok bersama temannya saat hujan becek, dan anak bersama kelompoknya berkubang di sawah. Apa yang kita lihat? Sebuah keinginan untuk melakukan sesuatu yang baik, atau hanya kekotoran yang akhirnya bisa menimbulkan penyakit? Dengan penutup berani kotor itu baik, maka Rinso seolah menjadi pahlawan layaknya Lifebuoy. Bermainlah, berkotor-kotorlah, setelah itu serahkan semuanya pada Rinso, dan juga Lifebuoy. Sebuah pilihan. Memilih, adalah bentuk perilaku individu. Freedom of choice, yet I already know whom I choose.


Keduanya memberikan kesempatan bagi target pasarnya untuk bebas melakukan aktifitas kebersamaan apapun, bahkan yang kotor sekalipun. Tapi ketika kembali ke urusan mencari pelindung dan pahlawan, maka secara samar kita diarahkan untuk memilih karakter hero idola yang membebaskan fansnya, namun ketika dibutuhkan ia akan sukarela menolong kita. Tanpa perlu mengomel. Tanpa perlu menggurui. Bagaikan keinginan remaja terhadap orangtuanya ketika puber tiba. Rinso dan Lifebuoy adalah sang Pahlawan Idola tadi. Semiotika yang dianut adalah menggabungkan kebersamaan dengan ujung kebebasan individual. Seks jelas tak mungkin masuk di sini. Tahapan bumbu seks terhadap produk yang bukan seksis di nusantara belum bisa dipahami secara komunal. Pun tentu bukan tanpa maksud kampanye ini, dengan tema yang mirip sama, diluncurkan dalam waktu yang hampir bersamaan. Keduanya produk unilever. Dan keduanya dapat saling menunjang dengan asas manfaat yang cukup sama. Kebersihan, dan juga kesehatan. Harapannya, keduanya akan dikonsumsi secara bersama pula.

Fesyen, Prejudis, Hingga Infotainment : Birahi Kekerasan Psikologis

“Sebuah keluarga muda-kecil-bahagia memasuki gedung supermarket. Tampak sang ibu menggandeng anak pertamanya. Baru saja lulus Taman Kanak-kanak. Beberapa orang yang berpapasan tertegun melihat mereka. Sang Ayah, berambut layaknya sapu, jaket kulit, rantai dan dua tato ular di lengan setia menemani. Sepatu bot tentara tampak gagah dipakai. Ibunya setali tiga uang. Bahkan lebih warna-warni pada mahkotanya. Ketika berbelanja, sang anak berlarian dan hilang dari pandangan. Sempat mencari, akhirnya Ayah pun menangkap jagoan kecilnya. Sambil menggendong, ia berkata “Jangan jauh-jauh dari Ayah atau Ibu. Bisa-bisa kamu nanti diculik orang yang mengerikan”.”

Guyonan ini sempat dimuat di sebuah majalah berbahasa inggris yang sudah ditransliterasikan menjadi bahasa Indonesia. Tersenyum? Mungkin bisa ironi. Fesyen memang telah menjadi sebuah identitas. Tapi konstruksi persepsi berdasar apa yang kita lihat, relasi visual penglihatan dengan apa yang pertama muncul di benak kita, telah mengalami pergeseran. Sejak awal memang ke-aku-an tak pernah muncul di komunitas komunal yang menghuni nusantara. Gotong royong, rame-rame, dan kebersamaan adalah sebuah spirit.

Ketika fesyen sebagai identitas telah ditentukan secara sadar ke dalam diri kita sendiri, dan secara tidak langsung akan menggeser peran dan konsep komunitas komunal itu, bolehkah kita mengeluarkan prasangka? Adalah memang, secara psikologis, seseorang tidak mudah menerima apa yang tak ia ketahui sebelumnya. Waspada, sebuah mekanisme pertahanan diri sendiri. Begitu juga, sesuatu yang menjadi determinan akan menjauhkan dirinya dari rasa aman. Karena ia beda, maka ia tak sama. Walau secara peran, pria berdandan beda tadi adalah sama, sebagai seorang ayah yang melindungi kepentingan keluarganya, buah hatinya, putranya.


Dalam dunia sosiologis, peran dapat diartikan sebagai sebuah set harapan budaya terhadap posisi tertentu. Kita dapat mengatakan peran pria tadi sebagai Ayah, jika dia menampilkan ‘identitas’ diri, kepribadian, perilaku verbal (berbahasa layaknya seorang ayah), non-verbal (tegas, bisa melindungi, bahasa tubuh dsb) seperti seorang ayah seharusnya. Sementara ‘identitas’ awal yang kita pahami adalah berdasar pada fesyen, tampilan visual yang dianutnya.

Andreas Schneider mengungkapkan peran lebih mengacu pada harapan (roles refer to expected) dan tidak sekedar pada perilaku aktual. Juga bersifat normatif daripada sekedar deskriptif. Harapan seorang anak, terhadap ayahnya, adalah menjadi seorang ayah. Yang melindungi, tegas dan memberikan rasa aman. Namun, apa harapan seorang ayah yang lain, ketika anaknya bertatap muka dengan sang pria rambut sapu tadi? Peran prasangka, akan bermain cukup kuat. Seorang aktor utama, prasangka tadi akan bisa berubah menjadi tingkat yang lebih tinggi. Diskriminasi, pelecehan, permusuhan, bahkan mungkin eksterminasi.


Dalam pendekatan sistem tanda, Umberto Eco sebagaimana dijelaskan oleh Yasraf (2003), mengatakan semiotika adalah berkutat pada segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie). Bahwa pada prinsipnya satu bentuk representasi adalah sesuatu yang hadir namun menunjukkan bahwa sesuatu di luar dirinyalah yang dia coba hadirkan. Representasi dandanan beda dan rambut sapu dari sang pria tadi, adalah mungkin bentuk kesadaran, mungkin juga kebohongan. Tapi tak serta merta kita berhak untuk melabelinya sebuah teror. Fesyen dapat ber-relasi menjadi sebuah persepsi yang mungkin terdistorsi menjadi prasangka. Distorsi dalam komunikasi dan informasi visual. Seperti halnya dunia infotainment yang mulai meresap dalam pembicaraan hingga pemikiran manusia Indonesia mutakhir ini. Dimana pergunjingan akan sebuah peran seseorang dan konsekuensinya adalah lumrah untuk diketahui secara komunal. Pembenaran akan menjadi sebuah identitas yang akan sering dilihat, menjadi figur publik, serta merta memberikan justifikasi untuk mengorek kehidupan bahkan kepribadian seseorang.

Penampilan, fesyen, imaji, persepsi dan ilusi tertuang menjadi bentuk budaya yang luar biasa mengakar pada masyarakat kosmopolitan pos-milenium dan pos-republik di nusantara kini. Simulakrum yang mentah menjadi guru, di-gugu dan di-tiru. Dipercaya dan ditiru. Bentuk-bentuk komunikasi dan informasi visual mudah dicari, dicerna dan diterima. Komunitas komunal yang dulu bertahan pada falsafah membangun bersama, kini menjadi komunitas komunal yang bertahan pada imaji dan identitas bohong yang sama, akibat konstruksi media massa visual.

Infotainment pun seolah ingin unjuk gigi menjadi penyeimbang, berkata manis, penuh tawaran moral dan pesan ketimuran. Namun sungguh, ketika figur publik memiliki nilai guna, maka prasangka adalah komoditas. Ketika seorang Andhara Early hamil setelah diberitakan cerai dengan suaminya, seolah opini digiring. Andhara bermain selingkuh dengan pria lain. Zina. Sebuah tuduhan seram, seseram hukuman adat, dan agama yang ada. Begitupun Pingkan Mambo, yang tiba-tiba dititipi sebuah nyawa tambahan, persepsi terbentuk berdasar prasangka. Ada apa dengan Pingkan? Sudahkah ia menikah? Apakah memang itu lazimnya perilaku manusia berkostum panggung, erotik dan eksotis, menarik, rambut warna cerah, baju sobek, tonjolan seksi, cantik, indo, tampan, parlente, dan segala topeng karakter dunia hiburan? Bebas dari norma, dan bergaul sesukanya?


Terlepas apakah memang seperti itu, kini main hakim sendiri tak cuma konsumsi preman dan kumpulan masyarakat bawah yang sakit secara ekonomi. Di tengah keluarga kita pun, di dalam diri kita pun, proses pengadilan telah terjadi. Berdasar apa yang kita tonton, dan mungkin secara sadar, kita pun mengamininya bahwa kita adalah hakim sekaligus jaksa. Ketika beda adalah sebuah hal yang kentara, waspada kita telah berubah menjadi sebuah eksekusi. Benar dan salah, kita leburkan dalam sebuah konflik, dan labeli dengan sebuah kemasan indah, ragam berita infotainment. Memang, itulah sebuah proses pendewasaan masyarakat verbal menjadi masyarakat visual. Masyarakat yang mulai berhobi tak lazimnya masyarakat timur. Kegemaran baru masyarakat bumi elok khatulistiwa ini tidak lagi berusaha membangun bersama. Tapi hanyalah menggilai birahinya untuk menuduh sesama, cuma berdasar pada prasangka. Lalu, bukankah itu sebuah bentuk kekerasan psikologis?

This page is powered by Blogger. Isn't yours?